Beberapa tahun yang lalu, saat masih duduk di bangku
sekolah dasar, aku sangat suka dengan pelajaran menghitung. Khususnya pelajaran
Matematika. Ketika bertemu dengan angka-angka di setiap materi pelajaran sekolah,
aku selalu bersemangat. Seberapa banyak soal yang ada di buku sekolah kala
itu, bisa aku selesaikan selalu mendahului teman-temanku bahkan aku selalu merasa
kurang dengan soal-soal yang ada. Menyelesaikan banyak soal dalam sekejab bukan
berarti membuatku tidak teliti dalam mengerjakannya. Aku sangat memperhatikan setiap proses dan hasil
hitunganku, sehingga jarang sekali mendapatkan nilai kurang untuk pelajaran
menghitung bahkan nyaris tidak pernah.
Satu kekurangan yang aku punya kala itu. Sangat
sulit bagiku mengikuti pelajaran menghafal. Entah kenapa, aku sangat tidak suka
dengan materi menghafal yang ada di sekolah. Sampai-sampai aku juga tidak suka
dengan guru yang mengajar pelajaran itu. Pernah sekali waktu, saat ada tugas
menghafal, aku tidak bisa menyetorkan hafalanku dengan baik. Langsung aku
mendapatkan hukuman dari guru dan bertambah kesal saja pada beliau. Sehingga
aku malah bertambah malas setiap pelajaran menghafal datang, sehingga membuatku semakin
sering mendapatkan hukuman.
Ingin sekali boikot dari kelas pelajaran hafalan.
Sungguh menjadi hal yang biasa, saat pulang sekolah , membawa hasil hukuman berupa bekas cubitan di
paha, tangan atau bagian tubuh yang lain. Memang cubitan adalah hukuman yang didapatkan kala itu jika seorang murid tidak bisa menyelesaikan tugas dengan baik.
Bahkan orang tuaku pun malah ikut memarahiku karena kesalahan yang telah kubuat. Serasa sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Berharap orang tua akan
membelaku karena mendapatkan cubitan dari guru, ternyata malah sebaliknya.
Aku merasa guru pelajaran menghafal di sekolah
sangat lah galak dan jahat. Tidak pernah aku mendapatkan toleransi jika aku meminta
kelonggaran di pelajaran menghafal, karena aku merasa kesulitan. Rasa benciku
semakin besar pada pelajaran itu sekaligus gurunya. Sebenarnya, guruku selalu
menjelaskan pelajaran di kelas dengan teratur dan menunjukkan cara memiliki
daya ingat yang baik di pelajarannya. Karena pelajaran yang disampaikannya
memang dituntut harus mengerti dan hafal, sehingga memang murid harus bisa
menghafal. Pernah aku mendapat nasehat,
“Rajin lah membaca Nak. Membacalah berulang sampai kamu mengerti dan kamu ingat setiap kata di materi yang kamu pelajari.”Meski sudah diberi tahu semua cara menghafal, semuanya aku abaikan. Kemauanku untuk gemar membaca memang kurang, jadi serasa lewat saja nasehat guru yang diberikan kala itu.
Suatu ketika saat sekitar tiga bulan menjelang Ujian Akhir Sekolah(UAS) akan dilaksanakan, aku berpikir keras. Aku takut jika tidak bisa
lulus dengan hanya mengandalkan kemampuanku di bidang hitung saja. Karena
Materi pelajaran yang diujikan juga materi hafalan. Aku mengingat-ingat semua
nasehat guruku. Mulai rajin membaca, menghafal, mencatat sampai benar-benar
hafal dan mengerti materi yang aku pelajari. Meski dalam keterpaksaan, aku
bekerja keras mengejar ketertinggalanku.
“Aku ingin lulus dengan nilai baik,” itu yang ada di benakku waktu itu.
Kemauanku untuk menjalankan nasehat guru, mulai
menghilangkan rasa benciku terhadap beliau yang sering mencubitku. Meski masih
ada perasaan kesal, aku berusaha menikmati setiap materi yang disampaikan dan
mengerjakan tugas dengan baik. Hingga saat Ujian Akhir Sekolah dilaksanakan,
aku bisa melewatinya dengan baik, bahkan dengan sempurna. Aku mendapatkan nilai
tertinggi di sekolah sehingga menjadi lulusan terbaik. Karena prestasiku, aku
mendapatkan rekomendasi dan beasiswa di Sekolah Menengah Pertama favorit.
Sungguh tidak menyangka dengan prestasi yang aku
raih semasa itu. Semua masih terngiang di memoriku sekarang. Selalu terbayang
sosok guruku yang luar biasa. Pendidikan kerasnya menjadikanku seorang juara.
Tidak semua tindakan keras oleh guru kepada murid adalah bentuk kekerasan semata. Namun, ada sebuah pelajaran besar di baliknya. Bahkan sekarang aku mengerti, hikmah dari semua hukuman yang aku dapatkan
semasa sekolah dulu. Hukuman itu ternyata bukan karena aku tidak bisa
menghafalkan pelajaran sekolah. Tapi hukuman itu adalah sebuah nasehat,
“Hidup itu keras. Hidup itu harus bekerja keras. Bekerja keras lah hingga kau bisa meraih apa yang sebenarnya bisa kau raih bahkan hingga tubuhmu sakit sekali pun. Jangan menyerah pada keadaan. Apa yang kau pikirkan, seperti itu pula lah dirimu akan menjadi orang. Karena keberhasilan itu, bisa terwujud dengan sebuah perjuangan.”
Terimakasih guruku atas semua kebaikan dan dedikasi
dalam proses pembelajaran yang sangat berarti ini. Selamanya guru adalah
pejuang yang mulia. Dari tangannya, tercetak tunas-tunas bangsa. Guruku,
pahlawanku.
Catatan :
Kisah ini ditulis dari pengalaman seorang ayah yang
memiliki seorang puteri. Pengalaman di kisah ini sangat memotivasi beliau untuk
selalu bekerja keras dalam hidup. Demikian, semoga bermanfaat bagi para
pembaca.
Penulis kisah : Tri Nurhidayati, salah satu anggota komunitas Ibu-ibu Doyan Nulis Jatim
Penulis kisah : Tri Nurhidayati, salah satu anggota komunitas Ibu-ibu Doyan Nulis Jatim
No comments:
Post a Comment