Tuesday, March 19, 2013

Menulis, Antara Idealisme dan Periuk Nasi


Ibu saya sempat berlinang air mata ketika saya memutuskan tidak akan bekerja sebagai analis kimia dan malah memilih menjadi penulis. Saya butuh waktu hampir 2 tahun setelah menyampaikan keputusan saya untuk bisa meyakinkan ibu saya. Saat itu pilihannya memang agak sulit. Saya menginginkan untuk fokus mencurahkan perhatian saya kepada jalan yang saya pilih. Mungkin keseriusan saya memilih jalan itu pada akhirnya membuat ibu saya merasa yakin dengan keputusan saya.

Saat itu, sebenarnya dalam hati saya pun belum yakin bahwa ibu saya merasa yakin dengan apa yang saya putuskan. Ya, tepatnya mungkin memaklumi. Tetapi saya berjalan terus. Kukuh dengan pendirian saya. Sebagian keluarga menganggap saya egois. Mementingkan diri sendiri. Tidak mau memerhatikan orang lain. Bahkan ada seorang sepupu dari keluarga besar berseloroh: “Sayang sekali ya, otak encermu agar bisa sekolah di sekolah idaman banyak orang pada akhirnya tak dipakai ilmunya. Karena kamu memilih jalur profesi yang tak sesuai keahlian utamamu. Otaknya buat saya saja atuh… hehehe…” Menyikapi komentar ini saya hanya tersenyum. Tak berkomentar apapun, karena sudah sering saya sampaikan alasan tersebut. Apalagi saya sebenarnya sudah mempersiapkan dengan cukup matang, baik dari segi waktu maupun mental. Tidak tergesa-gesa.

Ya, untuk mempersiapkannya, sejak bekerja sebagai analis kimia di sebuah perusahaan mie instan di Karawang waktu itu, saya sudah membeli mesin tik seharga Rp275 ribu di tahun 1993 dari paman saya. Paman sayalah yang membelikan mesin tik itu dan saya mencicilnya sebulan Rp25 ribu. Meski paman saya kurang setuju dengan pilihan hidup saya, tetapi ia tak bisa melarang ‘kekerasan’ pendirian saya. Mungkin juga sekaligus ia ingin mengetahui seberapa kuat saya melangkahi jalan pilihan saya.

Waktu itu usia saya 21 tahun. Mungkin orang tua saya dan siapapun dari keluarga besar saya menganggap pilihan saya terlalu gegabah. Usia muda yang meledak-ledak atas pilihan yang mungkin dianggap meruntuhkan semua keinginan besar orang tua menjadi kambing hitamnya. Itulah yang banyak dibahas di keluarga besar. Entahlah, mungkin mereka ada benarnya. Tetapi saya merasa yakin bahwa pilihan saya sudah tepat dan saya tidak akan menyesali keputusan saya walaupun pada akhirnya mengalami kesulitan.

Kini, alhamdulillah saya bisa menunjukkan bahwa saya mampu tegak di atas jalan yang saya pilih. Walaupun bukan tanpa penderitaan. Penderitaan tetap ada, tetapi saya insya Allah tidak terus mengeluh dan tidak menampakkan keluhan di hadapan mereka. Ya, meski tak semua keluarga menunjukkan ekspresi bahagianya setelah saya mampu berdiri, tetapi saya merasakan ada getar bangga di hati mereka. Insya Allah.

Lebih dari sekadar profesi

Bagi saya, menulis atau menjadi penulis bukan sekadar profesi atau malah hobi. Saya memilihnya sebagai idealisme. Benar bahwa kebiasaan saya menulis sejak SMP, waktu itu saya menyebutnya sebagai hobi. Tetapi di kemudian hari saya lebih suka dengan pilihan kata “idealisme”. Terutama setelah saya merasa senang dibombardir dengan bacaan-bacaan yang mengubah cara pandang saya tentang Islam. Jika dahulu saya menganggap agama sebagai ritual belaka, tetapi setelah saya aktif di remaja masjid sekolah, rajin melahap bacaan yang waktu itu sangat baru bagi saya, Islam ternyata adalah ideologi. Sebabnya, Islam mengatur urusan dunia sekaligus akhirat. Islam mengatur akidah, dan juga syariat. Inilah yang membuat saya harus ikut andil dalam menyebarkan syiar Islam, setidaknya melalui kemampuan saya dalam menulis. Saya ingin menyampaikan indahnya Islam melalui tulisan yang bisa dijangkau banyak orang. Ketimbang saya harus duduk dan mengajak banyak orang untuk datang ke masjid, lalu saya menyampaikan apa yang saya ketahui. Maklum, saya waktu sekolah punya keterbatasan secara lisan. Saya tidak bisa menyampaikan pesan secara lisan di hadapan banyak orang. Rasanya lidah ini kelu. Sulit merangkai kalimat. Jika sekarang alhamdulillah bisa dan berani, itu ternyata ‘efek’ dari kebiasaan saya menulis (selain tentunya yang utama adalah atas izin Allah Swt.).

Waktu itu saya merasa bahwa menulis, adalah bagian dari media penyampai pesan yang menggunakan sarana lebih maju. Media penyampai pesan paling sederhana pada waktu itu adalah mading (majalah dinding). Ketika sebuah tulisan tampil, yang membaca bisa puluhan bahkan ratusan orang. Dan, mereka tidak protes langsung ke penulisnya sebelum menyimak sampai habis isi tulisan tersebut. Jika secara lisan, mungkin saja ada yang memotong pembicaraan kita, apalagi saat diskusi. Di situlah saya semakin yakin, bahwa saya harus menulis, menulis dan menulis. Apalagi waktu itu saya merasa sangat kurang dalam komunikasi secara lisan. Jadinya seperti menemukan jalan keluar untuk bisa berkontribusi dalam syiar Islam, yakni melalui tulisan.

Ketika idealisme dilawan periuk nasi

Hidup memang pilihan. Tetapi pada kondisi tertentu kita tak bisa memilih keadaan seperti apa yang diinginkan. Pilihan dalam hidup hanya terjadi pada prinsip. Bukan kondisi. Prinsip hidup memang harus dipilih. Jika sudah dipilih, pegang erat, sekuat mungkin. Sebagai muslim, saya merasa bahwa Islam adalah jalan hidup yang tak bisa ditawar lagi. Harga mati. Ini memang terdengar sangat heroik atau berlebihan. Tetapi saya merasa inilah cita-cita yang ingin saya raih dan berusaha mewujudkannya. Sementara kondisi kehidupan, itulah yang tak bisa dipilih. Jika bisa dipilih, tentu semua orang akan memilih yang baik-baik, yang menyenangkan, membahagiakan, dan jauh dari kesengsaraan.

Inilah yang kemudian saya menemukan dalam Islam sebagai konsep ujian. Ujian adalah kondisi di mana kita harus kuat pada prinsip yang kita pilih. Misalnya ujian keimanan. Seseorang yang sudah menyatakan beriman tetap akan diuji, apakah keimanannya sudah lurus, tulus, benar dan kokoh meski harus menghadapi ujian yang akan menyakitkannya. Allah Swt.berfirman (yang artinya): “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS al-‘Ankabuut [29]: 2)

Dalam ayat lain Allah Swt. menyampaikan firmanNya (yang artinya): “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS al-Baqarah [2]: 214)

Rasulullah saw. bersabda (yang artinya): “Besarnya pahala sesuai dengan besarnya ujian dan cobaan. Sesungguhnya Allah ‘Azza wajalla bila menyenangi suatu kaum Allah menguji mereka. Barangsiapa bersabar maka baginya manfaat kesabarannya dan barangsiapa murka maka baginya murka Allah.” (HR Tirmidzi)

Dengan kedua ayat dan satu hadits ini, cukup rasanya bagi kita bahwa apa yang kita pilih pastinya akan ada ujiannya. Tak terkecuali dalam hal ini adalah keimanan yang kita pilih. Ini masuk ke ranah prinsip hidup sebagai muslim. Maka, ketika seorang mukmin diguncangkan dengan dengan kekurangan secara finansial, itulah ujian. Bersabar dan tidak mudah goyah untuk meninggalkan prinsip hidupnya. Ia tak akan menggerus idealisme dan keimanannya demi mendapatkan harta dan kekayaan agar terlepas dari kesulitan hidup. Maka, seorang penulis muslim yang mukmin, tak akan gentar meski aktivitas menulisnya tak dihargai dengan lebih banyak materi. Dia tak akan melunakkan isi tulisannya dan tak akan mengaburkan ide-ide Islam yang murni hanya demi mendapat simpati manusia dan berharap harta.

Dalam sebuah pertemuan antara penulis, penerbit dan toko buku, seorang penulis yang saya kagumi ide-idenya berkomentar bahwa, “Sebagai penulis saya ingin tulisan saya dibaca banyak orang. Ide saya sampai ke mereka. Meskipun bagi penerbit dan toko buku, karena mereka bisnis, akan memilih buku-buku yang menurutnya laku dijual di pasaran.”

Ini sebagai wujud ungkapan perasaan yang terdalam dari seorang penulis. Ia ingin agar buku-bukunya bisa diterbitkan meski mungkin isinya tak populer di kalangan pembaca awam. Karena misinya adalah dakwah. Sementara misi penerbitan dan toko buku berbeda. Mereka jualan. Meski pada akhirnya bisa dicarikan solusinya, dengan tidak mengorbankan idealisme sepenuhnya, misalnya dengan menulis tema-tema yang ringan tetapi masih ada pesan ideologisnya, tetapi rasanya memang belum optimal mempertahankan idealismenya. Tetapi itulah pilihan prinsip hidup. Idealisme harus dijaga dengan kuat, meski pada akhirnya ada yang dikorbankan, yakni tak terisi penuhnya periuk nasi.

Saya dan kawan-kawan saat mengelola majalah remaja (kini sudah ‘wafat’ medianya) pernah juga diberikan pilihan oleh seoarang calon investor: akan diberikan kucuran dana, tetapi syaratnya isi majalahnya harus menyuarakan kampanye salah seorang kandidat bupati di salah satu daerah. Mereka berkepentingan menjaring suara pemilih pemula yang membaca majalah remaja kami. Dari kucuran dana yang ditawarkan—jika mau—cukup akan memberikan majalah tersebut terbit sebulan sekali dan hidup setidaknya 5 tahun ke depan dengan tanpa perlu susah payah mencari iklan. Apa yang dilakukan saat itu? Bukan sombong, kami menolaknya. Secara kasarnya, lebih baik sengsara ketimbang bergelimang harta tetapi mengorbankan idealisme dan keimanan kami.

Tetap mencari solusi terbaik

Bagi seorang mukmin, harus siap dan tegar hadapi berbagai kondisi. Meski demikian tentu saja tetap mencari solusi terbaik. Menulis misalnya, jika masih ada ide yang bisa diproduksi tanpa harus mengorbankan idealisme, teruslah menulis. Meskipun yang ditulisnya sebatas motivasi atau tips-tips jalani hidup. Tetapi agar terasa hangatnya mabda Islam, pembaca bisa digiring kepada pemahaman bahwa Islam harus diperjuangkan dan ditegakkan agar motivasi dan tips-tips jalani hidup lebih ideologis. Bukan semata kebutuhan, tetapi memang kewajiban.

Untuk satu alasan ini pula, saya dan kawan-kawan insya Allah bersikukuh menerbitkan buletin remaja gaulislam, dan digratiskan. Tentu saja bukan karena saya dan kawan-kawan di manajemen gaulislam sudah kelebihan dana, tetapi kami ingin memberikan kontribusi nyata. Alhamdulillah, ikhtiar saya dan kawan mendapat banyak dukungan dari kaum muslimin secara umum. Inilah kontribusi nyata yang bisa kami berikan untuk mendukung tersebarnya dakwah Islam, khususnya di kalangan remaja. Maka, mengalirlah para donatur yang mau menafkahkan hartanya di jalan dakwah. Buletin gaulislam diberikan secara gratis. Bagi sekolah di luar daerah Bogor, hanya dikenakan biaya ongkos kirim saja. Tetapi jika sekalian mau memberikan infak juga tidak akan kami tolak.

Keputusan menerbitkan buletin gaulislam dan mendistribusikannya secara gratis insya Allah adalah pilihan terbaik untuk saat ini. Kami tidak ingin membebani pihak sekolah dan para siswa dengan segala pungutan. Semoga saja dengan digratiskannya buletin gaulislam akan lebih banyak remaja yang mengenal Islam dengan benar dan baik. Tidak itu saja, edisi onlinenya juga kami berikan cuma-cuma alias bisa diunduh bebas di website resminya [www.gaulislam.com]. Untuk menambah daya jangkau kami juga bekerjasama dengan 2 radio di kota Bogor untuk menyiarkan talkshow, konsultasi dan bedah buletin setiap pekannya. Alhamdulillah, perkembangan terbaru, kami di manajemen gaulislam mengeluarkan fasilitas streaming (siaran online) agar suara dakwah gaulislam bisa didengar hingga ke mancanegara. Anda bisa mengunjungi di [live.gaulislam.com]. Insya Allah ini salah satu contoh solusi terbaik dari ikhtiar kami menjaga idealisme, dan mohon doa serta dukungan dari berbagai pihak agar ‘proyek’ dakwah ini berjalan lancar. Kepada Allah Ta’ala jualah kita menyerahkan semua urusan kita. Allah Swt. adalah sebaik-baik penolong.

Menutup tulisan ini, saya ingin mengingatkan kita (terutama bagi saya) bahwa Islam adalah jalan hidup yang harus kita pilih. Dan, dakwah adalah jalan cinta para pejuang Islam. Menulis, adalah bagian dari media penyampaian pesan yang bisa dikemas dengan lebih baik dari waktu ke waktu dan dipadukan dengan banyak media penyampai pesan lainnya, sehingga kekuatannya dalam menggalang opini bisa dimaksimalkan. Selain itu, kita harus meyakinkan diri dan memastikan bahwa idealisme (terutama keimanan) kita tak tergerus apalagi digadaikan demi terpenuhinya periuk nasi kita. Itu sebabnya, kita mulai luruskan niat, maksimalkan ikhtiar dan biarlah Allah Swt. menyempurnakan upaya kita. Insya Allah keberhasilan akan kita raih tanpa harus mengorbankan idealisme.

Salam perjuangan dan kemenangan ideologi Islam,

O. SOLIHIN

http://www.famindonesia.com/2012/10/menulis-antara-idealisme-dan-periuk-nasi.html

No comments: