Gagal menulis? Ditolak berkali-kali? Buku jeblok di pasaran? Bosan jadi penulis?
Mungkin
nasehat sedikit ini dapat membantu. Awalnya, hanya mendengar penjelasan
QS 8 : 45-47. Tapi sungguh, Quran itu memang obat yang mak jleb di
hati. Sungguh langsung mengena pada diri seorang penulis seperti saya
yang kadang dihantui rasa lelah. InsyaAllah, tidak ingin meninggalkan
dunia kepenulisan (karena saya cinta dan merasa menulis adalah
katarsis). Tapi, salah satu kekalahan kita adalah semakin malas dan jauh
dari target-target menulis.
Apa sih sebetulnya isi QS 8 : 45 -47?
Sebetulnya
surat al Anfal banyak berisi penjelasan peperangan di zaman Rasulullah.
Kalau begitu , apa relevansinya dengan zaman sekarang? Kita sudah tidak
punya musuh Belanda, Portugis, Jepang lagi. Coba deh, baca lagi dan
akan semakin faham bahwa “musuh” itu bisa bertransformasi menjadi
makhluk yang banyak sekali ragamnya. Ingat Sadako Yamamura, si setan
perempuan zaman modern ini kan?
Syarat Keberhasilan Penulis (QS 8 : 45-47)
1. Tsabat / teguh
2. Dzikir
3. Taat kepada Allah dan Rasul
4. Tidak berbantah (berpecah belah)
5. Sabar
6. Tidak sombong dan riya
Tsabat/teguh
Dalam QS 8 : 45, maksud ayat ini adalah tidak lari ke belakang ketika bertemu musuh, juga istiqomah. Dengan kata lain adalah tetap di tempat meski bertemu musuh. Ya, mungkin saya pernah mengalaminya.
“Sinta, kamu itu bagus lho di fiksi sejarah,” saran beberapa teman dan editor.
Tengok sana, tengok sini. Lho kok , penulis motivasi royaltinya gede
ya? Lho kok, yang sekarang diminati adalah tulisan travelling ya? Lho…
Akhirnya, kita pun ikut terbawa-bawa menulis hal-hal yang mungkin tidak
sesuai kapasitas kita. Memang, saran mas Ali Muakhir, penulis butuh
Wisata Karya. Bahwa ia akan bosan terus menerus menulis tema fiksi
sejarah. Tapi hendaknya menulis bukan karena sekedar ingin loncat sana
dan sini, tanpa punya prinsip apapun. Seharusnya seorang penulis punya
spesialisasi sehingga ia akan memiliki brand image khusus, dalam istilah ekonomi pasar celah. Mungkin tidak berlimpah royalty, tapi bila kita memilih spesialisasi , akan dicari penggemar fanatic.
Dan, tsabat / teguh ini biasanya dibutuhkan saat bertemu musuh.
Silakan ke toko buku. Buuaanyakkk sekali musuh di sana.
Penerbit A, B, C, P, Q, R. Penulis h,i,j,k,l,m,n. Belum lagi penulis
dari luar macam Stephanie Meyer, JK Rowling, dll. Ada penulis senior
yang terus menerus menerbitkan buku. Ada penulis yunior yang bagus-bagus
pula karyanya. Ada penulis anak-anak. Dan…covernya cantik-cantik! Belum
lagi penulis yang lebih professional, packaging nya bagus banget, ada tim manajernya, diundang kesana kemari bedah buku.
Alamak…daku gak kuat menghadapi musuh sebanyak itu!
Itulah makna tsabat/teguh.
Bahwa kaki kita harus tetap di tempat meski rasa gentar menyerang.
Memang, kenapa sih kita menulis? Karena ingin berbagi satu hikmah
kepada orang lain. Selalu terngiang ucapan pak Maman S. Mahayana.
Penulis itu orang yang luarbiasa bijak; sebab ia telah melampaui prosesi
membaca. Ia menelaah, mengkaji, merenungkan, mentafsirkan ulang dengan
kebijaksanaannya sendiri dan dengan pengalaman hidup yang telah
dijalani, ia menuliskan dengan kekuatannya sendiri.
Dengan kekuatan dahsyat seperti itu, seharusnya penulis memang harus memancangkan kaki tetap di tempat pertempuran.
Ada 100 judul buku baru terbit setiap bulan. Ada puluhan penerbit baru
yang muncul. Ada penulis-penulis muda yang harus diperhitungkan. Tapi
kita tak akan mundur sebagai penulis, sebab tsabat atau teguh baru
langkah awal menuju medan peperangan yang besar.
Dzikir
Sabar dan dzikir memiliki korelasi. Semakin banyak dan khusyuk dzikir,
insyaAllah semakin kuat menanggung beban. Sabar itu bukan nerimo
looooooh, diapa-apain juga mau. Ditipu, sabar. Diinjak, sabar.
Ditinggal, sabar. Kalah, sabar. Sabar adalah terus maju dengan
menanggung beban yang semakin besar sesuai dengan kapasitas dan tahapan
langkah yang dijalani.
Dzikir adalah salah satu penguat sabar.
Apalagi manfaat dzikir?
Tahukah kita, bahwa semua materi di alam semesta ini memiliki energy?
Punya gelombang elektromagnetik? Bunga-bunga punya energy. Batu punya
energy. Matahari punya energy. Badan kita punya energy. Atom punya
energy. Dan…
Kertas punya energy. Tinta punya energy.
Itu sebabnya, Ibnu Sina berwudhu dulu sebelum menulis dan jika bingung,
maka beliau sholat. Maka, tulisan para ulama punya energy luarbiasa
untuk bisa sampai kepada kita. Tiap kali Sir Muhammad Iqbal berkata
padaku di dalam puisinya,
“…sudah berapa lama kau tidur di ranjang sutra?”
Maka rasanya ia memarahiku karena tidur terlalu banyak. Boleh jadi,
kekuatan tulisan Iqbal terletak pada kebiasaannya membaca Quran usai
shubuh.
Dzikir bukan hanya membuat pelakunya sabar
untuk terus maju, menanggung beban yang semakin besar; tetapi juga
merasuk menjadi energy ke tulisan-tulisan yang kita buat. Ucapkan
Basmallah, sholawat, asmaul husna saat menulis. Buka dengan Dhuha atau
Tahajjud. Perindah dengan baca Quran.
Memangnya kalau sudah jadi penulis tidak butuh tsabat dan sabar lagi?
“Sinta, kenapa sih tokohmu kok Gary Stu banget?”
“Sinta, novelmu sangat bagus di awal. Tapi di tengah-tengah…ya ampun,
melempem begini! Kamu seperti habis energy dan terburu-buru!”
Setelah gelar dan profesi penulis melekat, apakah kaki kita tidak harus
tetap terpancang? Apakah dunia menjadi lebih lunak dan berjalan tanpa
gelombang sama sekali? Tetap saja ada.
Lalu kita
menjadi penulis andal. Tapi nggak bisa ngomong di depan orang, setengah
mati keringetan! Saat diminta bedah buku, hanya aah…eehh…oooh…gitu…
Sabar adalah menanggung beban yang semakin besar seiiring tahapan
langkah yang ditapaki berikut. Saat jadi penulis pemula harus tsabat dan
sabar untuk mengejar deadline, menghasilkan karya-karya terbaik. Saat
menjadi penulis produktif harus siap berbicara dan mampu memotivasi
orang lain. Saat menjadi penulis berkibar harus siap dikritik
habis-habisan.
Begitulah sabar dan dzikir saling berkelindan.
Taat kepada Allah dan RasulNya
Saya sukses menulis karena saya memang pintar kok! Saya terkenal karena memang tulisan saya digemari!
Benarkah?
Sejak zaman dahulu kala, baik orang Jawa, China, Barat dan orang manapun dari belahan dunia mengenal prinsip “ Untung. Hoki. Lucky.” Ada banyak orang kaya, cerdas di dunia ini. Jadi kaya dengan bekerja, Jadi cerdas dengan belajar. Jadi untung dengan…?
Hoki atau keberuntungan seseorang itu sesuatu yang ghaib. Sesuatu yang
mirip tulisan saya yang sebelumnya “ Rezeki 600 juta dan 62 M”. Kadang
tidak bisa ditafsirkan.
Lho, penulis itu karyanya
biasa-biasanya saja, baru juga 5 buku keluar, kok sudah difilmkan? Kok
sudah bisa beli mobil dan rumah? Sementara karya saya sudah 30 lebih
masih begini-begini saja.
Tak ada yang bisa diutak
atik manusia jika terkait hoki. Tetapi, setidaknya kita bisa berusaha
mendekat ke arah keberuntungan dengan mencoba taat pada Allah dan
Rasulnya. Taat pada yang wajib, itu terutama dan pasti. Sholat 5 waktu,
puasa Ramadhan, menjauhi yang dilarang, dan seterusnya. Menambah dengan
amalan-amalan sunnah seperti Dhuna, tahajjud. Ada banyak kisah pengusaha
yang sukses dengan amalan rutin Dhuha, salah satunya Sandiago Uno. Ada
seorang pemimpin yang sukses setelah mencanangkan gerakan dhuha dan
sholat malam bagi diri dan anak buahnya.
Kita, tak tahu dimana kunci hoki itu berada. Tapi saya ingat sekali dengan perkataan Aa Gym.
“Kalau kita minta sesuatu sama Allah, dan tidak dikasih, emang itu
karena Allah miskin? Allah itu Maha Kaya. Kalau “tangan”Nya masih
tertahan di langit, coba cari terus apa yang kira-kira menahan rizqi.”
Terus coba taat pada Allah dan RasulNya, dan kita tidak tahu di tanggal
berapa bulan apa tahun keberapa hoki itu menjadi milik kita.
Tak Berbantah/Berpecah Belah
Saya sudah pernah mengalami kegagalan ini.
Ketika berdiskusi dengan teman-teman editor dan saya meminta program
promosi. Saya ngotot buat bulletin-buletin mini, stiker-stiker untuk
cover buku. Meski sebagian besar pakai kas sendiri, saya merasa
yakin…ah, promosi ini pasti berjalan. Masa sih nggak bisa mendongkrak
penjualan?
Padahal bagian promosi sudah menasehati, “
mbak, sekarang promosi dengan memasang iklan yang mahal di koran atau
majalah, gak efektif lagi. Yang efektif dan murah adalah lewat medsos
dan komunitas-komunitas.”
Apa yang dikatakan teman
editor, teman bagian promosi, benar adanya. Ternyata, keberhasilan
sebagai penulis jangan dianggap bahwa kita pun mampu meng handle semua. Ada orang-orang yang punya pengalaman lebih dan harus didengarkan, bukan dibantah sesuai kehendak kita sendiri.
Sabar
Tsabat adalah kekokohan saat pertama kali bertemu musuh. Sabar adalah kekokohan saat berperang melawan musuh.
Menjadi penulis yang tsabat dan teguh berarti harus sabar membaca untuk
meningkatkan kapasitas diri, sabar menulis dengan tema-tema dan tingkat
kesulitan yang lebih tinggi, sabar untuk menelaah karya sendiri dan
merenungkan kritik orang atas tulisan-tulisan kita. Allah sungguh
beserta orang yang sabar.
Sebagai seorang penulis, kita semua mungkin sudah pernah mencicipi apa makna sabar.
Sabar membuat outline. Sabar membuat sub-bab. Sabar mencari referensi.
Sabar menulis kata demi kata, kalimat demi kalimat. Sabar meng edit.
Sabar mencari endorser. Sabar mencari penerbit. Sabar dengan editor.
Sabar dengan bagian pemasaran. Sabar menunggu waiting list. Sabar ketika ditolak. Sabar ketika karya terbit dan tak sesuai harapan. Sabar ketika royalty kecil. Sabar ketika buku write off. Sabar ketika kita memutuskan kembali untuk menulis buku baru.
Meski,saya merasa sungguh hikmah dan karuniaNya.
Andai seorang penulis dengan 1 buku kayaraya bisa beli 10 mobil, 10
rumah, 10 apartemen, royalty 10 turunan tak habis. Secara teori hierarki
Maslow ia sudah tak butuh apa-apa lagi. Tak butuh peningkatan kapasitas
diri. Tak butuh belajar. Tak butuh menulis lagi. Lalu tak ada penulis
yang mau menulis buku ke 9, 10 sebab ia sudah sangat kaya hanay dengan 1
buku! Miskinlah ilmu pengetahuan sejak saat itu. Justru, kesabaran
sebagai penulis dengan buku-buku write off memacu kita untuk
menulis, belajar, menulis, belajar, menulis, belajar….dan seterusnya.
Lalu, ummat ini pun dihiasi oleh pemikiran-pemikiran beragam yang keluar
pada produk-produk tulisan mulai tulisan ulama, pemimpin, negarawan,
sastrawan, pendidik, terapis dlsb
Tidak riya’ dan sombong
Kembali pada hoki dan keberuntungan.
Bukan hanya karena kita semata, sebuah buku sukses. Mari kita runut.
Jika memiliki otak idiot, debil, imbisil dengan point IQ 30 -50, maka
kita tidak akan bisa berpikir abstrak dan menemukan kata-kata.
Alhamdulillah, Allah berikan pada penulis IQ setidaknya 100 point. Jika
kita CP atau cerebral palsy, autis, atau sekian banyak disorder dan tak
bisa focus, tak mampu konsentrasi, tak bisa menggerakkan jemari; maka
tak akan bisa mengetik atau menulis. Alhamdulillah, Allah berikan
kesehatan pada 100 milyar sel saraf berikut normalnya neuro transmitter
sehingga otak kita tidak salah mengartikan sensasi dan persepsi. Kita
mampu membuat kalimat-kalimat yang dimengerti orang lain, mampu membuat
kisah yang dapat dibaca orang dan memberikan makna. Bayangkan dengan
orang schizofren yang dihantui halusinasi dan delusi, ia dapat merasakan
musuh-musuh dalam ceritanya berlompatan keluar. Kita, mampu
menyelesaikan sebuah cerita utuh sebanyak 200 halaman sejak daftar isi
hingga daftar pustaka.
Tidak ada alasan untuk menjadi riya dan sombong.
Semua kita niatkan untukNya. Meski, sebagai manusia normal selentingan
rasa itu tentulah ada. Ah, aku sudah jadi penulis yang lumayan nih,
barusan menang lomba dan dipuji-puji dewan juri. Merasa tersanjung
boleh, tapi jangan lupakan nama Allah di saat kita menerima kenikmatan.
Riya dan sombong, seperti semut hitam di atas batu hitam, dalam
kegelapan malam. Nyaris tak tampak. Maka dzikir semoga bisa menjadi
pembersih bagi kotoran hati.
Nah, siap ya jadi penulis yang sukses, insyaAllah di dunia dan akhirat!
https://www.facebook.com/notes/sinta-yudisia/syarat-kesuksesan-penulis/10151903278162744
No comments:
Post a Comment